Senin, 12 Januari 2015

Serius

Kamu tahu aku paling tidak suka suasana serius. Dan kau melakukannya di tengah ramainya manusia, aku benar-benar merasa tidak nyaman. Ah.. hari ini tangisku pecah lagi. Kurang lebih sudah seminggu masalah ini menggelayuti. Aku sedang butuh teman, hal-hal kecil saja mampu menyulut emosi hatiku, karena aku benar-benar sedang kalut. Aku benci suasana seperti ini. Jangan ditambah lagi.

Besok Bandung akan jadi tujuanku. Kesibukan akan jadi tujuan utamaku. Mendekati wisuda makin banyak yg berusaha, mematikan handphone merupakan pilihan yang paling nyaman. Aku tak ingin diganggu, dan takkan secepat itu percaya. Ah.. kasihannya diriku, terlalu serius.

Sampai kapan kau mau pasang tembokmu? Sekali ini saja kenapa tak kau coba runtuhkan?Sialnya, memang sudah terlalu sulit untukmu percaya. Yg sejati itu mungkin memang benar-benar tidak ada ya.

Jumat, 09 Januari 2015

Maaf

Merasa agak sedikit bodoh saja.. Beberapa waktu lagi aku akan pergi dan berkenalan dengan berbagai macam manusia. Hai tempat yang luar biasa tenang, aku akan datang lagi kesana. Mendengar gemerisik syahdu yang membuat diri ini sejenak lupa. Aku suka suasanamu. Kukan ucap salam perpisahan yang paling sunyi. Biarkan semua tetap seperti ini, kuselesaikan semua dengan tanggung jawab. Tapi aku tak akan merubah apapun yang ada. Kau tetap dengan posisimu, silakan.. Karena memang dirimu yang punya hak mengambil pilihan atas jiwamu. Aku akan pergi detik ini juga.

***

Kosongnya isi terpenuhi olehnya yang lain. Kuketuk ruang-ruang itu dengan perasaan lemas, sekujur tubuhku sudah lelah, terlebih mataku, apalagi jiwaku. Semalam suntuk aku hanya menangis pilu, lebih pagi aku termangu melihat pendar cahaya. Aku jadi sangat suka malam, gelapnya menentramkan. Mungkin aku memang sudah benar-benar gila.

Candu apa yang mengikatku sampai sedalam ini? Aku bagai kepingan yang dihantam batu besar dan pecah! Sama seperti anak-anak yang bermain di pinggir kali, mencari batunya kemudian menghantamkannya sekeras mungkin. Sakit.

Kau jelas lebih merana, tapi aku tetap akan berbaring menatap sang lorong-lorong jalan, yang hanya ada dalam lekat anganku. Nyatanya kini aku harus kembali ke ribaan-Nya. Selamat tinggal, maafkan aku.

Rabu, 07 Januari 2015

Terlepas

Aku tidak tahu mengapa semalam semua perasaan campur aduk. Aku menangis dalam diam, namun aku tahu persis lelehan air mata itu begitu deras. Allah... Allah... Mohon kuatkan. Mohon kuatkan.

Aku tidak tahu aku jenis manusia seperti apa. Yang jelas semalam aku takut sekali, aku takut akan diriku sebagai hamba yang terseok melupakan Sang Maha. Allah, tolong tetap dekat denganku..

Boleh kan kita serapuh itu kalau di depan Allah? Memang diri ini sangat rapuh. Bahkan jelas-jelas tetap terasa sakit ketika kebenaran itu akhirnya berani aku ungkapkan. Yang sangat kutahu keberanian itu dikirimkan oleh-Nya lewat doaku semalam. Bahkan saat melihat timeline Facebook atau social media lain semua terasa seperti mengingatkan kembali. Entah kau bilang itu hal yang aneh dan nggak jelas, aku tak peduli. Tapi aku memang berdoa, tolong lewat perantara apapun, tunjukkan jalan-Mu. Ini semua tentang berkah kehidupan, yang sangat kupercaya tiap tindak-tanduknya selalu dicatat dan akan diminta pertanggung-jawabannya di akhirat kelak. Apa itu masih menjadi satu hal yang aneh buatmu?

Menurutmu bagaimana? Ketika diriku berbicara soal persaudaraan dan tanggung jawab di hadapan Illahi, sementara engkau berbicara soal dunia dan materi. Menurutmu aku harus apa? Ketika aku ingin berusaha menggapai segala sesuatunya karena Allah, tapi di hadapanku kau meminta untuk berjuang demi reputasi di mata manusia. Jadi, harus bagaimana? Jika dari awal tujuan hidup kita sudah berbeda, harusnya hatiku merasa pesimis semenjak awal dan menyerahlah jika kumau. 

Tapi itu bukan tabiatku. Bukan pula dengan berbicara sesuatu yang sangat menyakitkan menjadi hal yang mudah untukku, tapi itu pilihan bijak untuk menyelamatkan hatimu, hatiku, dan hati mereka. Apa rasanya ketika engkau menjadi pusat curhatan semua orang? Bagaimana rasanya ketika kau harus siap pasang badan mengutarakan semuanya untuk suatu hak, dan itu baru satu saja, hak berpendapat? Bahkan sakit rasanya ketika tahu masih saja banyak yang tak berani mengemukakan pendapatnya. Sebenarnya sakit rasanya ketika harus pasang badan untuk banyak orang. Sakit karena pada akhirnya aku harus terima ketika sasaran utama itu kemudian membenciku.

Sakit sekali... Aku sampai bingung harus seperti apa. Aku butuh teman untuk berdiskusi soal pahit ini. Tapi.. adakah yang mau mendengarkan dan bersedia menasehatiku?