Yuhuu hari ini kerjaan gue ngendem di rumah aja. Ngapain lagi kalo bukan merampungkan tugas Tekbang dan Eksternal buat besok dan Jumat. Cukup letih karena berhari-hari tidur malem. Bukan hal yang luar biasa juga sih, tapi pengen cepet-cepet balik ke rutinitas awal yang jam tidurnya jam 9. Btw semester ini berjalan cukup-cukup lancar aja. Di semester 4 ini kadar semangat gue yang paling jelek kayanya, menurut gue lho. Tapi kata temen-temen justru di semester ini gue lebih bersemangat. Masa sih?
Rencana awal yang nggak mau ikutan organisasi biar nggak padet-padet banget ternyata nggak terkabul haha semester ini cukup rempong juga ternyata. Dan agak disedihkan juga gue keluar dari SEC untuk menyiapkan sebuah tanggung jawab yang besar. Mau nggak mau harus dituntut untuk memilih. Bukan pekerjaan yang menyenangkan sebenarnya saat kita harus berhenti dari tanggung jawab sebelumnya. Tapi mau bagaimana lagi, keputusan itu harus diambil.
Melihat diri gue yang sekarang, kayanya gue kurang hiburan. Bukan hiburan ke mall yang nggak jelas ngapain, atau sekedar makan-makan di luar yang juga sebenernya cuma ngabisin duit. Gue butuh hiburan ke alam. Iya, gue kangen banget masa-masa dimana gue bisa melihat banyak pohon. Naik sampe atas, lihat lereng-lereng yang luar biasa indahnya, atau jalan sejauh mungkin menuju curug dan teriak sekeras-kerasnya disana. Ah, secepatnya gue harus bisa merasakan itu lagi.
Ah ya, nggak ada nyambung-nyambungnya sih. Ini mau ngomongin soal impain gue. Sebenernya di 100 mimpi gue, belum tertulis abis ngampus di interior UI gue mau lanjut kemana. Ada sih tulisan gue bakal ke Jepang, tapi disitu tertulis gue diundang disana untuk ngomong tentang kerajinan tangan. Tapi lucu lho, yang gue tulis disana kebanyakan udah terjadi. Alhamdulillah. Yang paling bikin gue seneng, betapa Allah sayang banget sama hambanya, mimpi yang gue canangkan sekitar 3 tahun ke depan ternyata udah terjadi saat ini. Subhanallah, betapa Allah itu benar-benar pengendali segala sesuatu. Betapa Allah tak pernah putus memberi nikmat-Nya.
Dan... omong-omong, gue mau jadi dosen. Sebenernya dari dulu Ayah udah nyaranin ini, tapi gue waktu itu nggak tertarik sama sekali. Tapi sekarang gue tertarik banget. Pake banget. Gue belum bisa ceritain latar belakang kenapa gue memutuskan mau jadi dosen. Tapi yang jelas gue membawa misi suci dalam perjalanannya. Hohoho. Ini sangat berkaitan dengan perusahaan besar yang bergerak di bidang seni nanti. Sebuah industri kreatif yang.... kita lihat saja nanti. Untuk bisa mencapai itu, perlu tahap-tahap kecil terlebih dahulu. Gue berharap di masa tua, gue masih bisa aktif dan berinteraksi dengan anak didik gue. Dan yang jelas, gue sangat berharap bisa menjadi seorang ibu yang baik untuk anak gue kelak.
Oh ya, waktu gue ikutan RKSE kemarin, abis acara secara nggak sengaja kita jadi ngobrol lama sama Pak Rhenald. Dan disanalah gue menemukan ilmu baru. Dan gue merasa sangat bodoh. Seakan selama ini gue hanya hidup di dunia gue, bener-bener megangin itu dunia dan nggak mau kenal sama dunia lain. Padahal itu perlu banget. Bukan kenal dan melebur disana, tapi setidaknya kita perlu tahu dan tidak apatis dengan hal-hal yang terjadi di sekeliling kita. Tapi ini nggak ada hubungannya dengan itu sih, jadi waktu itu udah malem banget. Acara selesai jam 10. Terus kita ngobrol lamaaaa banget sama Pak Rhenald. Disanalah gue baru tau arti beneran dari bisnis sosial. Ternyata yang namanya bisnis sosial adalah saat kita bisa menyumbangkan minimal 20% profit kita untuk sosial. Jadi kalo kaya ada program pengembangan masyarakat, atau ada rutinitas baksos dll itu tidak dinyatakan bisnis sosial, tapi pengusaha yang punya jiwa sosial. Lain lagi, kalo profitnya semuanya untuk sosial, itu namanya LSM. Kalo yang kecil-kecil gitu yang sekitar 2 % namanya CSR. Dan disana gue benar-benar bisa mengerti kalo peranan ekonomi itu sangat penting untuk permasalahan yang ada di dunia.
Mungkin selama ini banyak yang berpikir bahwa entrepreneur sama dengan kapitalis. Pas di kuliahnya Pak Nanda juga beliau ngebahas banyak tentang ini. Gue nanya macem-macem sampe akhirnya dia nyuruh gue buat baca buku Multitude. Belom gue baca sih, tapi seru banget diceritain segala macem tentang sudut pandang dunia. Kalo gue pribadi nggak setuju kalo entrepreneur selalu sama dengan kapitalis. Mungkin kalo pake cara-cara mereka ya iya kapitalis. Itu kan berbicara soal sistem atau metode, ya kan? Kalo sistemnya diubah, kita nggak bisa ujuk-ujuk menyatakan itu kapitalis.
Bisnis sosial. Ya, denger nama bisnis aja banyak yang berargumen sinis tentang itu. Bisnis disambung-sambung sama sosial? Apa nggak salah? But hey, selama ini gue berpikir, apa pola pikir kita udah dimatikan? Mengapa kita sinis untuk mendengar kata bisnis? Seakan semua pengusaha di dunia make modal sekecil-kecilnya dan meraup untung besar dan menekan pekerja-pekerjanya. Mereka hanya dapat kecil sementara pengusaha berpesta foya. Seakan orang kaya selalu dan selalu tidak bisa melihat ke bawah. Benarkah seperti itu?
Berdasarkan pengalaman gue mendengar cerita sana-sini langsung dari ahlinya, ternyata banyak pengusaha dengan bisnis yang udah sampai mancanegara, mereka sangat memikirkan nasib karyawannya. Dan betapa perjalanan sejarah mereka membangun usaha benar-benar menggugah. Dan karena merekalah, Indonesia dapat terbantu. Mereka yang mati-matian berjuang membuat lapangan kerja. Beribu-ribu pekerja menggantungkan hidup mereka disana. Kalau tak ada mereka, bagaimana karyawan itu bisa bekerja? Kalau tak ada mereka, apakah karyawan itu akan menjadi buruh pengusaha asing? Atau yang lebih parahnya mereka akan mengganggur dan itu menyebabkan masalah yang lebih pelik untuk Indonesia?
Adakah solusi yang lebih efektif dibandingkan dari segi ekonomi? Adakah yang bisa menyatakan uang datang begitu saja jika kita hanya berdoa? Ini bukan soal pola pikir kita yang sudah termakan budaya barat, tapi realistis lah menatap masa depan. Adakah yang bisa menjamin jika kita sinis terhadap ekonomi, atau yang lebih luas politik, sosial, budaya, dll kita bisa mengalahkan bangsa barat yang banyak memakan korban Muslim?
Gue rasa orang-orang yang selalu sinis dengan istilah "entrepreneur" adalah mereka yang penakut. Mereka sudah keburu alergi dengan istilah ekonomi. Mereka cepat-cepat memasang tameng dan tidak ingin mengenal itu lebih dekat. Mereka menyia-nyiakan kesempatan itu dan membiarkan bangsa barat terus dan terus belajar, dan hingga pada akhirnya kita hanya menjadi korban. Korban dari rasa takut untuk menjadi bangsa yang besar.
Balik lagi ke bisnis sosial. Ada yang bilang, sosial dipekerjakan untuk bisnis? Mereka dipekerjakan hanya untuk meraup untung? Hey hey hey, coba lihat. Sekarang pola pikirmu menempatkan bahwa kaum marjinal harus selalu jadi kaum marjinal yang selalu dan selalu diberi, bukan dibina untuk mandiri. Ketahuilah, sesungguhnya semua manusia itu sama. Sama-sama bisa berusaha, sama-sama bisa mengubah takdir hidupnya jika ia mau berusaha. Pola pikir kita yang menyatakan bahwa kaum marjinal "kasihan", kaum marjinal harus "selalu diberi sembako setiap hari" membuat mereka menjadi kaum yang manja dan tetap miskin. Kita memang harus membantu mereka, tapi tetap tanamkan kemandirian itu. Tetap tanamkan "Siapa yang berusaha ialah yang akan berhasil."
Coba bayangkan, jika kita hanya memberi bak sinterklas yang ujuk-ujuk memberi hadiah, apakah mereka akan berubah? Adakah niatan mereka untuk malu, menolak, dan bilang "Saya tidak mau, saya ingin bekerja untuk mendapatkan itu." Apakah mereka terbantu dari segi waktu untuk jangka panjang? Akankah tukang siomay akan tetap setia berpuluh-puluh tahun dengan gerobaknya, ataukah ia akan bisa membuka puluhan outlet? Siapa yang bisa bantu mereka untuk itu? Kita! Ya tentu kita bisa. Maka dari itu pelatihan tentang kewirausahaan sangat diperlukan untuk mereka. Bagaimana sembari kita memberi ilmu mereka belajar untuk berusaha. Praktek langsung berusaha. Semua orang harus merasakan saat-saat mereka di bawah. Tentunya dengan sistem yang memanusiakan manusia. Untuk itulah bisnis sosial tercipta.
Maukah kita menjadi bangsa yang selalu terbelakang? Yang takut akan istilah "entrepreneur"? Yang karenanya kita pikir kita akan jauh dari nilai-nilai Islam dan termakan oleh budaya Barat? yang karena itu kita tetap memiskinkan pola pikir dan mental kita dan benar-benar tidak mau menjadi kaya? Tapi kita punya mimpi untuk dapat memberi sebanyak-banyaknya? Bagaimana kita dapat memberi kalau sebelumnya kita tidak punya apa-apa? Kita menggantungkan kepada mereka yang baik? Meminta sumbangan? Meminta atas dasar sosial? Kita meminta tanpa kita bekerja? Jika pola pikir kita terbentuk seperti ini, kapan Islam menjadi bangsa yang besar?
Kita tak boleh menutup diri untuk itu. Tak ada yang melarang kita untuk menjadi kaya, tapi tetap kita harus tahu baik dan buruknya. Tetap kita harus tundukkan hati dan melihat sesama. Bukan berarti kita tidak boleh hidup kaya, bukan berarti kita tak boleh hidup nyaman dan enak. Kita dapat berbagi itu semua kepada mereka. Justru dengan kita menjadi kaya, kita dapat lebih banyak membantu saudara-saudara kita. Banyak kesempatan yang hadir di sekeliling kita. Banyak ilmu yang dapat kita raih dari mana saja. Ketahuilah berbagai sudut pandang. Lagi-lagi, bukan berarti kita lebur di dalamnya, setidaknya kita tahu ada apa di luar sana. Apa yang sedang terjadi yang sedang mengintai kita. Sesungguhnya Allah tetap bersama hambanya yang istiqomah di jalan-Nya. Pegang teguh prinsipmu pada Allah, niscaya kamu tak akan kemana-kemana. Sekaya apapun dirimu, setinggi apapun sepak terjangmu, sebanyak apapun prestasimu, jika kamu punya Allah di hatimu, insya Allah apapun yang kamu kerjakan akan baik di mata Tuhanmu.
"Jangan takut untuk menyerap segala ilmu. Jangan takut untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Jangan takut untuk menjadi kaya. Kaya yang seimbang antara harta dan jiwa. Jangan takut, karena itu adalah proses untuk kita menjadi bangsa yang besar. Untuk dapat membantu sebanyak-banyaknya saudara kita dengan tetap memegang teguh tali agama dan rasa cinta kepada Allah SWT. Selamat berproses!"