Yang lalu-lalu itu hanya kelam yang sudah menjadi abu.
Rutinitas terus berjalan, aku tetap harus berjuang.
Untuk itulah, pukul 10 pagi tadi dengan yakin aku pasti akan mendapat sebuah pencerahan.
Bertemu dengan guru tercinta dan teman2 yang sudah layaknya keluarga.
Ilmu bertaburan, sempurna! aku mendapatkannya kembali. Semangatku.
Untuk apa aku bertahan, untuk apa aku melakukan ini semua, bibirku pun berucap ini tak kusuka.
Kurang lebih 2 minggu ini, itulah yang menggelayuti pikiranku seutuhnya.
Sampai jumat kemarin adalah puncak. Teringat, persis setelah aku melihat sms dan berbicara pada Dhika, lalu mengobrol kembali bersama Ratna dan Rara, tiba-tiba saja aku menjadi kesal, dan menangis.
Terlihat oleh beberapa, mungkin semua. Bertanya-tanya, banyak tanya. Ada apa? Kenapa?
Terkatup sementara, aku tak bisa menjawabnya. Barulah ketika tenang, aku mencoba bercerita. Namun terlintas begitu saja, pentingkah memberitahu perasaan terjujurku?
Akhirnya kuputuskan untuk bercerita. Setelahnya banyak yang menghiburku. Aku senang, masih banyak yang peduli, namun aku tak mendapat jawabannya, maksudku.. Aku tidak mendapat makna dari penghiburan itu.
"Semangat."
Basi. Perkataan basi yang sering terlontar untuk orang-orang yang terlihat sedih dan patah semangat, bahkan akupun, tiap harinya melontarkan kata-kata itu. Semangat yang hanya jadi sarapan sehari-hari, kehilangan makna. Hanya menjadi embel-embel. Kehilangan kekuatannya. Tapi memang harus seperti itu. Kau saja yang sinis terhadap kepedulian mereka. Apa salahnya? Justru semangat timbul karena kesadaranmu sendiri.
Ya, aku memang terlalu sinis. Merasa bahwa mereka tak merasakan apa yang kurasa, pun saat mereka melontarkan kalimat penyemangat, dengan sinisnya aku berujar tak mendapatkan maknanya. Tentu saja itu salah. Malu hey, kamu belum ada apa-apanya.
Mungkin 2 minggu belakangan ini, lelah yang terasa membuatku menjadi orang yang terlalu kaku. Serius. Diajak bercanda namun menganggap serius. Tak asik lagi. Jika begitu aku pasti lebih banyak diam. Dan teringat selentingan peristiwa yang membuatku kesal, jatuhnya lebih pada kecewa. Aku sudah berusaha mengatakan sejujurnya "Aku tak mampu" namun mengapa terus saja mereka menekan, dengan soknya berujar, "Kamu mampu."
Aku tahu aku bisa. Aku tahu aku mampu. Aku tahu saat dimana kondisiku memang benar-benar mampu untuk memegang amanah itu. Namun tahukah, disaat aku benar-benar berbicara "Aku tak mampu" itulah kondisi sebenarnya. Namun hey, jika kamu tetap menekankan kata-kata bahwa aku mampu, bagaimana aku bisa menolak?
Sedih. Disaat aku akhirnya memilih untuk bersedia, semua terasa begitu tak terpegang. Miris ya, untuk menolak saja tertahan oleh pandangan orang lain. Kalau kuberitahu apa saja yang kukerjakan, lebih terlihat sombongkah? terlihat tak mau membantu?
Dan dengan seenaknya kembali berujar, "Tenang aja, kerjaannya cuma gitu kok."
Ah ya, kondisiku benar-benar sedang sinis. Tak tahukah mereka, aku juga sama saja seperti yang lain. Kelimpungan akan tanggung jawab dan amanah. Memang resikoku. Tapi terlanjur sudah, aku mencoba bilang, tapi siapa yang peduli? Yang ada di pikiran mereka selama ini aku terlihat mampu. Ah ya, sombong sekali kamu.
Tak tahulah, disaat aku mencoba untuk beradaptasi dulu memikirkan bagaimana segalanya berjalan seimbang, sejenak aku menghilang dari pandangan mereka. Hanya sementara. Saat aku kembali, terlontar lagi, kata-kata yang... membuatku berpikir. Tidak boleh kah aku istirahat sebentar?
"Kemana aja kok nggak kelihatan?"
"Kemarin ikut? kemarin yang mana? Minggu maksudnya? Emang ada apa hari minggu? Kan nggak kuliah."
"Sibuk banget ya? Ngerjain tugas?"
"Ayo nonton, katanya solid"
Menekan. Ditekan. Haih.. sesukamu sajalah. Yang terlontar malah omongan ketusku. "Gue ga suka kalo digituin." Ah astagfirullah..
Masih banyak kekurangan diri tentu saja. Belum bisa me-manage waktu lagi-lagi. Karena itulah aku tau batasan kondisiku. Ya sudah, ini semua untuk Allah. Semoga bisa aku lalui. Walau mengapa keluhan ini harus muncul di blog, terlihat menyedihkan sekali. Yasudahlah, sekadar menuangkan saja yang terasa.
Sekian sisi jelek ini, besok-besok semoga tidak lagi ada Fahma yang seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar