Selasa, 01 Januari 2013

Belajar

Hari ini akhirnya bisa memanjakan diri, hati, dan pikiran lagi. Jalan kaki sampai pasar sungguh penuh dengan pembelajaran. Jalanan setapak, kendaraan yang lalu lalang, semua tampak begitu sederhana, namun indah. Pukul 10 tepat aku beranjak dari kamar dan berjalan menuju pasar. Ditemani sengat matahari, tak menyurutkan langkahku untuk menuju kesana.

Ini semua berawal dari agendaku yang ingin berolahraga setiap hari, namun hari ini aku kesiangan. Maka tak ada toleransi lagi, agenda ini harus tetap berjalan! Yap dengan rasa pasti aku berjalan. Awalnya aku tak tahu akan pergi kemana, namun tiba-tiba pilihan pasar hinggap dalam otakku. Ya, perjalanan inipun dimulai! Perjalanan hati...

Dimulai dengan hingar bingar kendaraan di Jalan Raya Akses UI, aku mulai memasuki jalan lama, dimana tak terlalu banyak deru kendaraan disana. Mata ini sibuk menatap kanan kiri, disana berjejer banyak toko yang sudah melekat akrab sedari aku kecil. Dulu, aku sering berpetualang bersama teman-teman kampungku. Seru sekali, karena merekalah aku menjadi sosok yang berani. Saat aku kecil, jalan ke hutan bukanlah satu hal yang baru. Aku sering diajak mereka pergi ke tempat-tempat baru. Ah! Aku ingat. Aku pernah berpetualang ke suatu pabrik tekstil dekat rumahku. Itu dulu sekali..

Saat itu aku masih di Sekolah Dasar. Teman mainku ada banyak sekali, mulai dari teman-teman di RT 03,04 sampai 05. Dengan anak-anak RT 05 lah aku diajak berpetualang menuju pabrik. Aku ingat, dulu rumah teman-temanku berdempet satu sama lain. Terdapat gang yang lebih pantas disebut lorong kecil  untuk menuju kesana. Sudah kukatakan sebelumnya, rumahku berada di perkampungan. Maka jangan heran bila pemandangannya masih seperti di kampung. Banyak rawa, tumbuhan dimana-mana, kandang ayam, orang berjualan, dan hingar bingar yang menentramkan lainnya. Namun itu dulu, sekarang pemukimannya sudah lebih ke arah perkomplekan dibanding perkampungan. Tapi masyarakatnya tak jauh berubah, masih tetap ramah seperti dulu.

Sejujurnya aku lupa siapa nama teman-temanku di RT 05 dulu. Karena kebanyakan aku hanya ikut main. Sekarang teman akrabku hanya teman-teman di RT 04. Yang aku ingat hanyalah Yuli, selebihnya aku benar-benar lupa. Seingatku, dulu ada sekitar 5 orang yang turut serta dalam perjalanan ini. Tak jauh dari tempat tinggal mereka, memang terdapat pemukiman lain yang berbatasan dengan tembok pabrik. Disanalah terdapat tangga yang saat aku masih kecil  terlihat tinggi sekali. Dan aku diajak menaiki itu oleh teman-teman RT 05.

Layaknya seorang anak kecil, aku merasa takut. Sebenarnya aku sudah dilarang ibuku untuk main jauh-jauh dan bermain bersama mereka, namun aku tetap saja bandel. Setelah dikompori yang lain, akhirnya aku mau untuk ikut. Aku naik di urutan ketiga. Pada saat itu rasanya takut tapi seru sekali! Bayangkan saja, aku harus menaiki tangga yang tingginya 3x lebih tinggi dari badanku! Dan itu hanya sebuah tangga kayu yang reot, tak ada penyangga lainnya. Setelah sampai diatas, yang tak lain adalah dinding pabrik, ternyata ada lagi tangga sambungan menuju ke bawah. Aku turun dengan sangat pelan dan hati-hati. Sempat aku lihat dari atas, ah ini perkebunan. Perkebunan singkong dan tumbuhan lainnya yang tak ku kenal. Dan yap! Kini aku sudah ada di bawah. Di kanan kirinya terhampar perkebunan luas yang menutup pandanganku. Ah, dimana pabriknya? Saat kutanyakan pada yang lain, kebanyakan  mereka hanya menggeleng, namun kata seorang anak laki-laki, yang aku lupa namanya namun aku ingat mukanya, untuk menuju pabrik memang harus melewati perkebunan ini.

Akhirnya, langkah-langkah kecil kamipun menyusuri perkebunan ini.  Aku takut bertemu ular, karena perkebunan itu lebih mirip rawa-rawa dibandingkan kebun yang tertata rapi. Akhirnya rasa takut itu berakhir, kami sampai di belakang pabrik. Sepi sekali, tak ada orang. Pabrik ini kurasa sudah tak berpenghuni. Perasaan takut kembali menyelimuti diriku. Kali ini lebih ke perasaan takut melihat hantu. Dulu sedang jamannya cerita hantu di kalangan anak SD. Genderuwolah, kuntilanaklah, jengglot, dan lain semacamnya. Aku dan yang lainnya mempercepat langkah. Hingga ada satu hal yang membuat kami tertarik. Ada gundukan! Kami ramai-ramai berlari ke arah gundukan tersebut, yang ternyata gundukan itu adalah limbah tekstil. Waah saat itu kami senang sekali, satu persatu kami mengambilnya dan berniat membawa pulang. Aku mengambil satu yang berwarna putih.

Hari sudah semakin siang, kamipun beranjak pulang, kali ini rute perjalanannya diganti. Tak lagi lewat tangga reot itu, melainkan lewat pintu depan pabrik. Saat kami berjalan sambil bercanda riang, di depan terdapat satu pohon yang sangat besar. Kami mendekat, ternyata pohon itu cukup pendek dan terdapat buah-buah kecil berwarna merah.
"Eeeeh ada ceri! Asiiiiik! Ambil yuk!"
"Eeeeh jangan! Nanti ada genderuwonya gimana?" Anak yang lain mengomentari.
"Aaah kamu percaya sama yang kaya gitu? Ini enak tau!"
"Iiiih emang bisa dimakan?"

Celotehan-celotehan lainpun membanjir. Namun tetap layaknya gerombolan anak kecil yang tertarik akan sesuatu, kami sama-sama mengumpulkan buah ceri, yang kemudian aku tahu bernama kersen, di tangan masing-masing. Di bawah pohon besar itu, kami saling menunjukkan buah kersen yang merah menarik itu. Ada yang dapat ukuran besar dan dia membanggakannya di depan kami. Kami tertawa dan mulai mencoba buah kecil itu. Manis, dan enak!

Perjalanan itupun berakhir dengan beberapa buah kersen di tangan dan lembar tekstil. Sungguh bahagia jika aku mengingat masa-masa kecil dulu. Sungguh sangat bersyukur aku bisa merasakan hal tersebut. Ah.. masa kecil yang tak kan kembali, namun kenangannya menjadi pengalaman berharga untukku kini.

Sama seperti perjalanan pasar hari ini, selain olahraga, aku ingin kembali bernostalgia akan pengalaman masa kecilku dulu. Mulai dari jalan lurus, menanjak, sampai kepada bebatuan di depan kuburan di dekat pasar. Aku mencoba merasakan semuanya, ah kalau melakukan perjalanan ini aku jadi ingat pendakianku dulu bersama teman-teman SMA dulu. Aku kangen mendaki. Menikmati pengalaman dan pemandangannya. Aku ingin lagi.

Alam... aku sangat menyukainya. Sampai-sampai saat SMP aku dijuluki anak alam. Dari sanalah aku dapat merasakan. Semua ini alam, dimanapun. Merasakan lewat indera yang telah tercipta. Sangat membuatku bersyukur, betapa Allah Maha Sempurna menciptakan segalanya. Allah, benar-benar pembuat sistem yang sempurna. Dan lagi-lagi, begitu banyak pertanyaan yang timbul, yang mungkin orang anggap sepele. Bagaimana bisa begitu banyak tumbuhan yang tumbuh, tumbuh berjejer dan begitu banyak manfaatnya, daunnya yang rindang membentuk sebuah bayangan yang menjadi naungan. Sangat membuat nyaman dan sejuk, jauh dari sengatan panas. Batangnya yang bermanfaat untuk material bangunan, belum lagi akarnya yang bisa untuk obat-obatan, berbagai umbi yang sari-sarinya bisa dijadikan makanan, ah.. itu baru saja tumbuhan, yang bila dipelajari pada pelajaran biologi terdapat sel, inti sel dan lain sebagainya yang begitu membuat takjub. Bagaimana mungkin kita masih saja menyombongkan diri pada sang Illahi?

Subhanallah... begitu banyak pelajaran yang dapat kita ambil jika kita mau mencoba merasakan. Merasakan apa yang Allah ciptakan, memikirkan untuk apa Allah menciptakan itu, memikirkan bagaimana hubungannya dengan aspek kita sebagai manusia, aspek lingkungan yang berada di sekitar kita. Memikirkan bagaimana segala ciptaannya dapat menentukan dosa dan pahala kita. Dosa ketika kita tak menjaga, pahala ketika kita merawat dan melestarikannya. Allah... sungguh, betapa kita makhluk yang paling mulia diciptakan oleh-Mu, karena kita dititipkan akal untuk berpikir. Kita dititipkan indera untuk melihat, mendengar, meraba, merasa... bertindak! Kita dititipkan hati untuk bisa menyeimbangkannya bersama otak. Kita dititipi jasad untuk kita merawatnya, kita dititipi aib yang dengan kuasa-Mu ditutuplah aib-aib kita dari sesama manusia lainnya.

Sejatinya manusia bukanlah bentuk fisiknya, melainkan apa yang berada dalam hatinya, ruhnya, yang akan ditiupkan kepada manusia yang lahir dan akan dicabut saat kematian mendatanginya. Sungguh segala sesuatu yang ada di dunia hanyalah titipan Allah untuk sementara, yang akan dipertanggung-jawabkan kelak di kehidupan akhirat yang kekal abadi..





Maka,
Sudah siapkah kamu, manusia?
_________________________________________________________________________________

Fahma Nurika Aisyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar