Senin, 09 Mei 2011

Kiri-Kanan

Aku singgah pada posku berikutnya. Tengah jalan antara kiri dan kanan. Atau kucoba memutar arah dan kembali. Di satu sisi bagian kiriku memanggil manggil, yang kanan tak kalah semangatnya memanggilku. Namun bagian dalam diriku ada yang menarik, ingin menyerah saja rasanya, kembali memutar dan tak kan melihat bagian yang kiri-ataupun kanan.

Kiri- selalu kirilah tempat ternyaman yang pernah kupunya. Selalu kirilah yang bisa membuatku kembali menatap segalanya. Kiri yang aku siakan tapinya. Selalu tertanam rasa bersalah disana. Kiri yang selalu dianggap buruk daripada kanan- padahal kiri- sangat baik untukku.

Kanan- aku tak tau mengapa rasanya beda. Namun kanan juga sangat berarti untukku. Aku tak tahu, kanan sudah punya jalan lain. Kadang aku ingin menarik kanan mundur ke jalannya, dan membiarkan aku tetap pada jalanku sendiri, diam tentunya. Sambil menatap kanan singgah ke bagian yang hilang darinya, bongkahan yang kadang aku pikir- jalanku hanya sementara. Dan dia akan bersama selamanya..... Mungkin saja.

Kiri dan kanan. Aku tak tahu mengapa ku kelompokkan seperti itu. Dan kubilang.. kiri dan kanan. Bukan kanan dan kiri. Lebih pentingkah kiri menurutmu? Atau sengaja kau taruh kanan agar tak terasa. Bendungan yang tersayat, kembali terkuak disaat seperti ini. Kiri dan kanan punya jalan masing-masing. Apa cukup ku pilih, aku diam saja disini, tak usah menghampiri hingga bagian dari diriku: kiri atau kanan, yang datang padaku.

Namun di satu sisi aku tak sanggup, jika melihat kiri dan kanan kemudian menjauh. Kalau begitu aku hanya punya satu pilihan bukan, memutar dan kembali pulang. Dan tinggal aku yakini, memang begini jalannya. Dan disaat terakhir, kutambahkan tembok yang tinggi-untuk kanan. Mencoba apakah kanan mengerti, dan justru memanjat tembok tersebut dan dengan senyum hangatnya menyapa. Atau justru dia pergi ke jalan lain yang sudah kusiapkan. Aku tak pernah tahu. Terkadang ia hampir berhasil memanjatnya, namun kemudian kembali rapuh.

Kalau kiri... Apa kiri sudah lupa? Aku tak kan pernah lupa. Tenang saja. Kupasang tembok juga pada kiri. Namun ia selalu bisa, selalu bisa memanjatnya. Namun bedanya selalu aku yang diam. Tetap pada posisiku.

Kiri atau Kanan, semua terlalu berharga untukku. Bahkan untuk melepaskan semua, aku bersedia. Aku bersedia tetap diam di sini, melihat punggung kiri dan kanan yang menjauh, menuju masa depannya kelak. Yang pada jalannya tak kan lagi ada jejakku, karena akupun tak menghampiri. Masing-masing, dan selalu tetap aku, beku dalam posisiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar