Senin, 28 Oktober 2019

Ibu.. Jangan tinggalin..

Suatu pagi, Nizam tiba-tiba bangun dari tidurnya dan teriak,
"Nizam sayang Ibuuuuk! Jangan ditinggal..!".
Deg. Sepertinya Nizam mimpi buruk. Aku langsung memeluknya dan bilang,
"Ibu disini sayang.. Ibu ga kemana-mana kok.."
Nizam masih meracau dan seketika bulir matanya jatuh, deras sekali. Berkali-kali Ia bilang,
"Nizam sayang ibuk.. gak ditinggal..ibuk disini aja.."
 .
Saat itu perasaanku sedih sekali. Aku teringat kemarin aku memang meninggalkannya. Hanya sebentar, tapi saat Nizam sudah bangun. Pagi itu aku ada jadwal rapat produk kolaborasi. Sementara pas sekali Nizam baru bangun, main sebentar dan belum siap. Alhasil pagi itu aku harus meninggalkannya dan berbagi tugas dengan Mas Ivan. Di jendela Nizam sudah meraung-raung minta ikut. Tapi dassr aku, karena Nizam saat itu sedang berpakaian lucu (memakai peci dan kacamata hitam tapi sambil menangis) aku malah memvideokannya. Aku berusaha menenangkannya dari luar sambil bilang,
"Nanti Nizam nyusul yaa sama Ayah. Nizam siap-siap dulu yaaa.."
Tangisnya makin menjadi, ditambah saat gojekku datang dan aku dadah-dadah dari Gojek.
Dan ternyata, momen itu tidak dilupakan Nizam. Walau akhirnya Ia menyusul dan berwajah serta bertingkah ceria, esoknya Ia jadi mimpi buruk. Ternyata momen seperti itu sulit dilupakannya, malah menancap di alam bawah sadarnya. Dan membuatku tersadar, jangan lagi menciptakan memori buruk untuknya.
.
Namun, hal itu kembali terjadi. Minggu-minggu ini sedang padat-padatnya pikiran karena kerjaan yang harus terkejar. Sudah bisa dipastikan, hormonku naik-turun dikarenakan sedang hamil plus kondisi yang menuntut serba cepat. Aku-yang notabene perfeksionis- jadi overthinking. Mikirin kerjaan-mikirin anak-keperluan anak-target yang belum tercapai-keperluan suami-kebutuhan diri sendiri-program diri sendiri-dll yang rasanya kian memuncak. Sampai aku jenuh dan penat. Pening!
.
Siapa lagi kalau bukan orang-orang terdekatku yang menjadi tumpahan emosiku-yang cenderung labil di kondisi ini. Yang kemudian menjadi rasa bersalah yang berlebih- karena sudah meluapkan emosiku pada dua orang ini. Terlebih Nizam tentunya.. yang sekarang cenderung lebih manja (kalau kata orang karena mau punya adik) plus menuju usia 3-4 tahun katanya anak cenderung kebih keras kepala. Di saat sedang pening, yang biasanya aku santai, sekarang dibawa serba serius. Nizam tiba-tiba susah banget disuruh mandi, bikin aku jengkel. Mas Ivan belum bangun tidur, bikin aku esmosi. Nizam mainan air, bikin aku marah-marah. Aku lagi nherjain tugas di laptop, tiba-tiba laptop dimatiin Nizam dan ditindihin, bikin aku kehilangan kesabaran dan bilang,
"Ahhh.. terserah Nizam aja! Ibuk gamau main sama Nizam!"
Terus aku ke kamar dan kunci pintu, takut lebih marah lagi. Nizam sedih terus gedor-gedor pintu,
"Ibuuk... ibukkkk..  maafin Nizammm yaa.."
Astagfirullahaladziim.. sesungguhnya saat amarah melingkupi kita, kita jadi kehilangan kendali. Malah kita yang lebih bocah dari anak kita.
.
Akibat perasaanku yang belum membaik, beberapa hari setelah itu jadi nular ke Nizam, Nizam jadi tantrum (yang sebenarnya jarang banget dia tantrum). Dan selalu seperti itu, setiap Nizam tantrum pasti ketularan dari perasaan negatif aku. Pun suami aku, dia ikutan bete karena mood istrinya jelek. Huff.. aku harus memilih sadar dan kembali santai, kalau mau ini nggak terus berlanjutan. Biasanya yang aku lakukan adalah sadar sepenuhnya dulu, terus meluk Nizam sambil bilang,
"Nizam sedih ya karena Ibuk marahin?"
"Nizam masih marah sama Ibuk?"
Biasanya Nizam jawabnya angguk-angguk kepala sambil sesekali terisak.
"Ibuk minta maaf ya Nizam.. Nizam maafin Ibuk?"
Terus selalu, yang bikin terharu Nizam malah bilang,
"Maafin Nizam ibuk..."
 .
Ya Allah.. pas ditulisin gini jadi mikir lagi. Anak yg belum 3 tahun ini justru yang ngajarin ilmu sabar. Aku sadar betul sebenarnya anak itu jadi keras kepala, jadi egois, jadi gampang marah, itu pengaruh dari Ibunya. Bener-bener karena pengaruh Ibunya, dalam hal ini mood dan kehadiran seorang Ibu suat sang anak. Pun si anak misal nggak bisa dilarang, nyolot, juga karena Ibunya yang terlalu takut anaknya marah (?) jadi harus tetep seimbang. Sayang dan lembut ada, tegaspun juga.
.
Dan entah kenapa, ritme kaya gini tuh berulang, sampai aku sering berpikir : Aku mau egois. Maksudnya.. aku kadang kepengen banget nggak mikirin kerjaan, nggak pengen ikutan mikirin gimana biar aman bulan ini dan seterusnya, dlsb. Nggak pengen ada di posisi yang sekarang. Aku pengen jadi Ibu Rumah Tangga aja yang jagain Nizam. Tapi setelah itu terjadi, aku malah kepengen mikirin kerjaan. Hahaa.. sebenarnya ini terjadi karena aku belum selesai dengan diriku sendiri.
.
Disaat penat, otak kita tuh rasanya penuh banget. Nggak ada ruang buat berpikir jernih, semua dibawa suntuk dan ngeselin. Padahal, selesai sama diri sendiri itu kita punya tujuan apa yang mau kita capai. Aku bukan benci sama posisi ini, tapi aku benci ketika poisisi ini membuat aku sibuk, Nizam nggak kepegang, dan rasanya semua kacau. Aku benci ketika posisi ini buat aku mikir egois :

Kenapa gw harus mikirin orang lain, orang lain aja nggak mikirin gw?
Mereka nggak mikir apa gw punya anak?
Gw lagi hamil?
Naik tangga ke lantai 3 hampir tiap hari?
Nggak mikir apa bawa anak tuh kadang repot banget?
Belum lagi kalo anaknya lari-larian ke tangga.
Nggak ngerti apa perut gw kontraksi?
Emang dia nggak punya anak istri apa?
Emang gw mau apa begini?
Gila, ini kita doang apa yang ngurusin?
Dll
Dll
Dll

Banyak banget pikiran negatif yang jadinya bikin pikiran jadi tambah penat. Tapi kadang pikiran-pikiran egois gini butuh muncul biar kemudian pas kita coba tenang lagi, kita pilah jadi sesuatu yang kritis. Apa benar seperti itu? Apa benar langkah ini?

Satu yang pasti : Kitalah yang peduli akan masa depan keluarga kita. Kitalah yang menentukan, jangan digadai karena sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kita pikirkan terlalu dalam. Sesekali egois nggak apa-apa, selama itu menbuat kita lebih baik dan lebih taat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar