Jumat, 23 Maret 2012

Ilmu bertaburan

Kamis, 22-03-12 matkul Pengars (Pengantar Arsitektur) menjadi sangat seru buat gue. Seru bukan pada saat teman-teman gue disuruh Pak Jaya maju untuk menjelaskan, namun saat diskusi dan pengarahan dari mereka itulah, sangat memotivasi gue. Gue mulai tertarik untuk belajar lebih dalam tentang Arsitektur. Banyak masukan yang membangun dari Pak Jaya dan Pak Nanda. Ini adalah hasil catatan yang berhasil gue catat dari perkataan mereka. Tiap kata berusaha gue catat, dan mungkin akan terlihat "kurang kerjaan banget" gitu gue nyatet tiap kata. Tapi itulah gue, di saat gue udah tertarik sama sesuatu, gue akan mencoba mencari tahu hal itu sedetail mungkin, sama halnya dengan apa yang mereka katakan, gue merasa itu ilmu yang seru dan sangat berguna. Uhuy langsung aja.

Awalnya, Pak Nanda memulai diskusi yang seru ini dengan melemparkan sebuah pertanyaan. 

"Kapan sebuah rancangan Arsitektur gagal?" 

Eka yang pertama kali tunjuk tangan dan menjawab. Ia mengatakan bahwa Arsitektur akan gagal jika aspek-aspek yang ada di dalamnya seperti psikologi, antropologi, dan lain-lainnya itu gagal terpenuhi. Selanjutnya, Farul ikut berpendapat, ia mengatakan bahwa jika Arsitektur tidak dapat memenuhi unsur kenyamanan di dalamnya, membuat orang-orang di dalamnya merasa tidak nyaman, Arsitek itu dapat dikatakan gagal. Gue yang sedari tadi fokus mendengarkan juga ikut berpikir, kira-kira kenapa ya?

Selanjutnya, muncul pertanyaan tentang Rotunda. Minggu ini memang matkul Pengars menugaskan kami untuk menganalisis Rotunda, sebuah Taman Inspirasi yang fungsinya sebagai area berkumpul di kawasan FTUI. Pertanyaan yang terlontar tidak jauh dari masalah di Rotunda sendiri. Mengapa Rotunda sepi? Mengapa lebih banyak orang yang pergi ke Lobby K? Berbagai jawaban dari kami bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena posisi duduk yang memutar dan ke arah luar, berbeda dengan lobby-K yang akses duduknya memutar namun menghadap ke dalam. Sama halnya dengan sebuah cafe, saat kita duduk memutar dan ke arah dalam, akan tercipta interaksi yang lebih dalam pula. Beda halnya dengan Rotunda, posisi duduk yang memutar dan menghadap keluar membuat interaksi tidak terlalu maksimal. Dan mungkin, Rotunda yang fungsi awalnya sebagai area berkumpul, bisa jadi bergeser fungsinya lebih untuk personal dalam hal mencari inspirasi, yang dapat dikatakan bahwa ini membuat seseorang menjadi Ansos/ Anti Sosial. Namun hal ini belum tentu benar. Banyak komentar lain yang bermunculan, salah satunya adalah dari Audita. Ia mengatakan bahwa, "Rotunda tidak bisa dikatakan gagal jika dilihat dari aspek sepinya. Sepi bukan berarti tidak ada pengunjung. Rotunda ada yang mengunjungi dan mereka memfungsikan Rotunda memang dengan fungsi awal Rotunda dibangun. Jadi Rotunda tepat sasaran dalam hal fungsi, namun memang tidak lebih ramai dari Lobby-K."

Pak Jaya pun menambahkan hasil diskusi kami. Sebelumnya ia mengatakan hal ini menjadi sangat seru untuk dilanjutkan. Beliau mengatakan, "Ada satu periode dimana seseorang ingin soliter (menyendiri). Ia tidak mau diganggu, ia menjadi sangat sensitif. Rotunda disini punya fungsi kesana. Seseorang dapat terfasilitasi dengan adanya Rotunda, ia bisa menikmati saat-saat ia menyendiri dan mencari inspirasi. Tapi hal ini membuat diri kalian menjadi Ansos/ Anti Sosial. Ini bertolak-belakang dengan fungsi Rotunda sebagai Area berkumpul. Di kehidupan sehari-hari, tanpa sadar kalian sudah Ansos. Contohnya HP kalian itu. Kemana-mana membawa HP, namun hebatnya tidak pernah terjadi tabrakan. Sekarang kita lihat, dimana-mana orang sibuk dengan HP nya. Coba kamu amati orang-orang di cafe, dimanapun. Bahkan mereka berdua saling berhadap-hadapan tetap asik dengan HP mereka masing-masing. Interaksi manusia-nya menjadi sangat kurang."

Gue sangat tertarik tiap kali Pak Jaya atau Pak Nanda sudah berkomentar tentang suatu hal. Diskusi ini terus berlanjut dengan pertanyaan yang berdasar pada "Arsitektur merekayasa ruang gerak manusia." Pertanyaan yang terlontar adalah,
 "Apakah Arsitek perlu dominan?"

Banyak yang menjawab pertanyaan ini, salah satunya gue.  Dan pertanyaan inipun dijawab seru oleh Pak Nanda. Ia mengatakan bahwa seorang Arsitek harus mendengar masukan dari orang lain.

"Arsitek itu gagal karena mereka sok tau, merasa pinter, merasa nggak butuh pendapat orang lain, kurang bisa mendengarkan, dan ini udah jadi kritikan tentang Arsitek sejak puluhan tahun yang lalu."

"Mungkin dari kalian diem-diem merasa saya berhasil masuk UI nih. Akibatnya? Di semua angkatan pasti ada anak yang arogan. Karena udah merasa lulus dan berhasil masuk UI. Tapi jangan salah, itu justru menjamin KEGAGALAN anda saat mau lulus. Ada seorang arsitek besar yang gagal karena hal yang sama. Dia udah hebat, diundang kemana-mana, masuk majalah, kuliah umum dimana-mana. Tapi suatu waktu rumah yang ia bangun gagal. Penyebabnya adalah karena dia dominan, nggak mau dengerin orang. Akhirnya ia di somasi oleh kliennya sendiri di pengadilan. Hati-hati disitu. Masih ada yang merasa "I am the best." Emang harus di suatu waktu seperti itu, tapi untuk menentukan ini yang terbaik ya jangan sotoy. Banyak baca dan banyak dengerin orang. Jangan pikir orang yang pantas kalian dengarkan hanya dosen. Bisa jadi pas kalian nanti punya proyek, ada tukang yang ngomongnya bagus. Jangan pernah meremehkan orang! Jadikan itu prinsip. Jangan mendebat untuk mendominasi. Debat adalah metode ke arah persetujuan. Debat bukan metode yang saya mendebat teman saya sendiri dengan mendominasi. Nilai kalian emang bagus, tapi attitude ga dapet. Debat itu persetujuan debat dengan pendebat. Ada hasil yang dicapai."

"Masalah di lingkup Arsitektur ataupun Arsitektur Interior ya itu tadi, merasa kegedean. Karya mereka gagal ya karena itu. Kenapa kota kita gagal? Karena pada merasa gede. Kritik ini dateng dari dalam dan luar. Di satu sisi harus ada kebebasan tapi disisi lain jangan sotoy. Jangan sampai membuat karya yang gagal. Ngancurin ruang, ngerusak lingkungan, nggak punya attitude."

Pak Jaya pun melanjutkan, petuahnya di lanjutin nanti ya. Mau pergi dulu haha dadaaaaaah!
 
 



1 komentar:

  1. (tertawa)

    Nyatet ngga Fah, pas bagian "Kalian boleh ngeyel, tapi harus punya konsep. Jangan cuma gaya-gayaan, 'i wanna be cool'. Kalian boleh mau gaya kalem, sok anak pesantren lah. Tapi harus punya konsep. Yang menggagalkan reformasi salah satunya adalah mahasiswa yang ingin terlihat seksi oleh teman-teman mahasiswinya."

    tapi ngga semua yang dibilang Pak Nanda benar adanya lho, dia juga manusia yang subyektif, sepinter-pinternya dia bisa bahasa Perancis pun. Yang ia bahas selalu soal ketidaksukaannya pada 'arogansi', 'sok-sokan', dan 'percaya diri' dari mahasiswa-mahasiswanya. Mungkin dia merasa tersaingi sebab dia pun begitu kenyataannya. (tertawa)

    BalasHapus