Rabu, 07 Januari 2015

Terlepas

Aku tidak tahu mengapa semalam semua perasaan campur aduk. Aku menangis dalam diam, namun aku tahu persis lelehan air mata itu begitu deras. Allah... Allah... Mohon kuatkan. Mohon kuatkan.

Aku tidak tahu aku jenis manusia seperti apa. Yang jelas semalam aku takut sekali, aku takut akan diriku sebagai hamba yang terseok melupakan Sang Maha. Allah, tolong tetap dekat denganku..

Boleh kan kita serapuh itu kalau di depan Allah? Memang diri ini sangat rapuh. Bahkan jelas-jelas tetap terasa sakit ketika kebenaran itu akhirnya berani aku ungkapkan. Yang sangat kutahu keberanian itu dikirimkan oleh-Nya lewat doaku semalam. Bahkan saat melihat timeline Facebook atau social media lain semua terasa seperti mengingatkan kembali. Entah kau bilang itu hal yang aneh dan nggak jelas, aku tak peduli. Tapi aku memang berdoa, tolong lewat perantara apapun, tunjukkan jalan-Mu. Ini semua tentang berkah kehidupan, yang sangat kupercaya tiap tindak-tanduknya selalu dicatat dan akan diminta pertanggung-jawabannya di akhirat kelak. Apa itu masih menjadi satu hal yang aneh buatmu?

Menurutmu bagaimana? Ketika diriku berbicara soal persaudaraan dan tanggung jawab di hadapan Illahi, sementara engkau berbicara soal dunia dan materi. Menurutmu aku harus apa? Ketika aku ingin berusaha menggapai segala sesuatunya karena Allah, tapi di hadapanku kau meminta untuk berjuang demi reputasi di mata manusia. Jadi, harus bagaimana? Jika dari awal tujuan hidup kita sudah berbeda, harusnya hatiku merasa pesimis semenjak awal dan menyerahlah jika kumau. 

Tapi itu bukan tabiatku. Bukan pula dengan berbicara sesuatu yang sangat menyakitkan menjadi hal yang mudah untukku, tapi itu pilihan bijak untuk menyelamatkan hatimu, hatiku, dan hati mereka. Apa rasanya ketika engkau menjadi pusat curhatan semua orang? Bagaimana rasanya ketika kau harus siap pasang badan mengutarakan semuanya untuk suatu hak, dan itu baru satu saja, hak berpendapat? Bahkan sakit rasanya ketika tahu masih saja banyak yang tak berani mengemukakan pendapatnya. Sebenarnya sakit rasanya ketika harus pasang badan untuk banyak orang. Sakit karena pada akhirnya aku harus terima ketika sasaran utama itu kemudian membenciku.

Sakit sekali... Aku sampai bingung harus seperti apa. Aku butuh teman untuk berdiskusi soal pahit ini. Tapi.. adakah yang mau mendengarkan dan bersedia menasehatiku?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar