Selasa, 22 Oktober 2013

Di Balik Kemegahan Metropolitan: Belajar dari Kampung Kemang


#Potret Selasa, 22 Oktober 2013. Gambar ini diambil saat saya dan Syifa Nabila blusukan ke Kampung Kemang RT 13 Bangka, Mampang Prapatan, Jak-Sel untuk tugas UTS Perancangan Ars.Interior III.



Terlihat sebuah kolam pemancingan yang penuh dengan lumpur persis di belakang gedung tinggi yang dilansir akan menjadi apartemen. Suara alat-alat berat yang timbul dari pembangunan gedung tersebut tidak mengganggu kegembiraan masyarakat untuk menguras kolam. Sejujurnya kami berdua cukup kaget, ternyata di balik kondisi fisik Kemang yang penuh dengan bangunan komersil, yang kelihatannya megah, masih banyak penduduk lokal yang hidup dengan tradisi mereka dahulu.




Berbeda dengan RT 13 yang khas dengan perikanan, RT 10 Kampung Kemang khas dengan perkebunan. Suasana asri langsung menyelimuti saat kami bertandang kesana. Bang Duloh, guru ngaji yang ada disana mengajarkan anak kecil dan remaja Kampung Kemang RT 10 untuk menanam tumbuhan, salah satunya cabai. Cabai tersebut mereka tanam di polybag dan mereka taruh di antara reruntuhan bangunan. Setiap pekan mereka mencari sendiri tanah untuk media tanam di antara reruntuhan bangunan tersebut. Laki-laki bertugas mencangkul tanah sementara prempuan bertugas memasukkan tanah ke dalam polybag. Kompospun mereka buat sendiri, anak-anak mencari daun kering dan kotoran hewan di sekitar Kampung mereka.


Ada lagi cerita tentang Bu Yatmi dan Bu Eko, dua Ibu yang bergelut dalam bisnis rumahan membuat kue goyang, kue tradisional khas betawi. Di kontarakan mereka yang sederhana, sapaan ramah dan obrolan santai mengisi survey kami kemarin. Betapa keakraban itu terasa menyenangkan. Lagi-lagi saya belajar dari kehidupan masyarakat yang kadang dilupakan dan terpinggirkan. 



Di tengah isu lahan mereka yang suatu saat akan 'diembat' untuk kepentingan komersil, merekapun dengan tegas menolak dan menyatakan ingin tetap berada di Kemang. Tapi saat tangan-tangan tak bertanggung jawab itu datang, membawa koper berisi ratusan lembar berwarna merah, hati siapa yang tak tergoda?

Pernah. Itu pernah terjadi di depan mata mereka. Tapi keinginan untuk tetap bertahan di kampung halaman mengalahkan itu semua. Relakah kita melihat tradisi lokal tergerus oleh mereka yang tak pernah puas? Relakah melihat penduduk lokal harus pindah demi menyerahkan tempat tinggal yang membesarkan mereka, yang penuh dengan keakraban dan persaudaraan hanya demi kepentingan profit belaka? Ah miris, sejatinya semua dari kita punya tanggung jawab untuk tetap menjaga nilai-nilai lokal yang membesarkan kita. Jangan pernah lupa tempatmu berasal, ingat tempatmu berkembang, tempat yang mendewasakan dirimu hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar